Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BERSIKAP WARA’’ MERUPAKAN SOLUSI MENGHINDARI DOSA DAN TERJERUMUS KE DALAM NISTA

 BERSIKAP WARA’’ MERUPAKAN SOLUSI MENGHINDARI DOSA DAN TERJERUMUS KE DALAM NISTA


Memposisikan diri sebagai muslim yang ahli ibadah, ahli puasa, ahli sholat, ahli do’a, seorang khotib, seorang guru, bahkan seorang yang alim itu mudah untuk diusahakan dan diupayakan. Akan tetapi menjadi mereka semuanya yang mempunyai sifat wara’, sangat sulit untuk digapai dan tidak mudah didapatkan. Karena barangsiapa yang mampu bersikap wara’ dalam segala hal, maka dia telah menduduki sebuah kedudukan yang paling tinggi, kedudukan kemuliaan dan telah berhias dengan sebaik-baiknya hiasan daripada sifat-sifat ketaqwaan.

Apalagi di zaman akhir ini, dimana pikiran kaum muslimin lebih banyak orientasinya didalam materi dan keduniaan serta pelampiasan hawa nafsu dan kelezatan. Sehingga yang demikian itu menyebabkan orang tersebut meremehkan dan melalaikan sifat wara’ pada dirinya. Oleh karena, itu mempunyai sifat wara’ dan menerapkannya dalam kesehariannya merupakan sebuah solusi untuk menghindari terjerumusnya seseorang ke dalam dosa dan selamat dari nista.

 

A.   Definisi Wara’

Sedangkan definisi wara’ itu sendiri banyak, hal itu sebagaimana tertera berikut ini:

1.   Berkata Ibrahim bin Adham:  “Sifat wara’ adalah meninggalkan semua hal yang syubhat (diragukan kehalalan atau keharomannya, kewajibannya atau tidak wajibnya).”

2.   Berkata Yahya bin Mu’adz: “Wara’ itu mepunyai 2 segi. Satu segi secara dzohir, yaitu tidak melakukan suatu tindakan kecuali karena Allah. Dan satu sisi secara batin, yaitu tidak masuk ke dalam hati kecuali sesuatu yang karena Allah.

3.   Berkata Yunus bin Ubaid: “Wara’ adalah berusaha keluar dari segala yang sifatnya syubhat dan selalu menuntut diri untuk mengevaluasi dan mengintropeksi diri suatu waktu dan suatu saat. “

4.   Berkata Ibn Qoyyim

v

: “Sifa wara’ adalah meninggalkan suatu perkara yang takut membahayakannya kelak di akhirat.”

5.   Berkata sebagian ulama: “Sifat wara’ adalah menghindari segala hal yang sifatnya syubhat dan selalu mengawasi segala macam lintasan.”

6.   Berkata lagi sebagian ulama, “Sifat wara’ merupakan sebuah ibarat dari terburu-buru melakukan sesuatu yang bersifatkan materi dengan mempertimbangkan kaitannya dengan akhirat.”

Kesimpulannya bahwasanya wara’ dalam artian seperti yang disebutkan oleh para ulama tadi adalah bukan hanya mencegah diri dari perbuatan yang haram dan melepaskan diri darinya, akan tetapi mencegah diri dari hal yang boleh dan menahan diri dari sebagian hal yang halal karena takut sampai terjerumus pada sesuatu yang harom. Sehingga jika ragu terkait hukumnya apakah itu harom ataukah halal, boleh atau tidak, maka ditinggalkan. Begitupula apabila ragu apakah sesuatu ini wajib dilakukan atau tidak, maka dia melakukannya. Sedangkan dasar utama perintah untuk bersifat wara’ adalah hadits Nabi

n

 berikut:

عن أبي عبد الله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إِنَّ الحَلَالَ بَيِّنٌ وَالحَرَامَ بَيِّنٌ ، وَبَينَهُمَا أُمُورٌ مُشتَبِهَات لَا يَعلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقَى الشُّبهَات فَقَد استَبرَأَ لِدِينِهِ وَعِرضِهِ ، وَمَن وَقَعَ فِي الشُّبهَات فَقَد وَقَعَ فِي الحَرَامِ ، كَالرَّاعِي يَرعَى حَولَ الحِمَى يُوشَكُ أَن يَرتَعَ فِيهِ ، أَلَا وَأَنَّ لِكُلِّ مَلِكِ حِمَى ، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى الله مَحَارِمُهُ. (متفق عليه) 

Sesuatu yang halal itu sudah jelas, begitupula yang haram. Dan antara keduanya perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menghindari sesuatu yang syubhat, berarti dia telah mensucikan agamanya dan mensucikan harga dirinya. Dan barangsiapa yang masuk ke dalam perkara yang syubhat, maka dia akan masuk kedalam pekerjaan yang haram. Sebagaimana seorang penggembala yang mendekati area terlarang, maka ditakutkan akan terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwasanya setiap penguasa mempunyai area-area yang terlarang, dan ketahuilah bahwasanya area yang terlarang bagi Allah adalah mendekati perkara-perkara yang diharamkan. (Muttafaq alaih)

عن حذيفة رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فَضلُ العِلمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِن فَضلِ العِبَادَة، وَخَيرُ دِينِكُم الوَرَعُ. (رواه الحاكم)

Keutamaan ilmu lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah. Dan ketahuilah bahwasanya sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’. (H.R. Hakim)

عن الحسن بن علي رضي الله عنهما قال : حَفِظتُ مِن رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم : دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ. (رواه النسائي)

Dari sahabat Sayyidina Hasan bin Ali

h

: “Aku telah menghafal dari nabi

n

: Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan dan berpindahlah kepada sesuatu yang kamu yakini dan tidak meragukan. (H.R. An-Nasa’i)

Sifat wara’ meliputi banyak hal, baik wara’ dalam pandangan, wara’ dalam pendengaran, wara’ dalam ucapan, wara’ dalam hal yang masuk ke dalam perut, wara’ yan terkait dengan kemaluan, wara’ dalam jual beli, dan lain sebgaianya. Kesimpulannya, hendaknya seorang muslim wajib bersifat wara’ ketika berhadapan dengan sesuatu yang diharamkan ataupun sesuatu yang syubhat. Dan sesuatu yang syubhat itulah yang menentukan posisi seorang muslim tersebut dari keimanan dan ketakwaan.

 

B.   Wara’ Dalam Hal Makanan Dan Pakaian

Makanan dan pakaian merupakan sesuatu yang pokok dan baometer ibadah kita diterima atau tidak, dan kita termasuk yang berhak mendapat surga atau neraka. Sehingga jika direnungkan, kebanyakan sesuatu yang wajib diwara’kan itu terkait dengan makanan, minuman serta pakaian, karena  berdasarkan hadits berikut:

عن كعب بن عجرة رضي الله عنه قال: قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ لَحْمٍ نبت من حرام فالنار أولى بِهِ. (رواه الترمذي)

Setiap daging yang tumbuh dari makanan atau minuman yang haram, maka api neraka lebih berhak untuk mendapatkannya. (H.R. Turmudzi)

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال صلّى الله عليه وسلم: مَن اشتَرَى ثَوباً بِعَشرَةِ دَرَاهِم وَفِي ثَمَنِهِ دِرهَم حَرَام لَم يَقبَل الله صَلَاتَهُ مَا دَامَ عَلَيهِ مِنهُ شَيءٌ. (رواه أحمد)

Barangsiapa yang membeli baju dengan harga 10 dirham dan dalam harga tersebut terdapat 1 dirham yang haram, maka Allah tidak akan menerima sholatnya selama baju itu melekat di badannya. (H.R. Ahmad)

Maka setiap orang yang beribadah yang makanannya haram, begitu pula pakaiannya berasal dari perkara yang diharamkan, maka sedikit sekali akan diterima ibadahnya. Bahkan setiap orang yang makanannya atau pakaiannya berasal dari sesuatu yang diharamkan, maka sulit untuk mendapat taufik dari Allah

l

 untuk malaksanakan keta’atan. Dan jika melakukan ketaatan, maka akan tercampur dengan sifat-sifat yang meniadakan dan menggugurkan pahalanya seperti adanya ujub, riya’ dan lain sebagainya.

Kesimpulannya maka setiap orang yang makanannya haram, maka amal ibadahnya ditolak oleh Allah

l

, karena sesungguhnya Allah

l

 Maha baik dan tidak menerima kecuali hanya yang baik. Sedangkan perinciannya adalah bahwasanya setiap tindakan dari suatu amal tidak akan tergambarkan kecuali dengan gerakan anggota badan, sedangkan anggota badan tidak mungkin tergerak kecuali dengan energi yang dihasilkan dari asupan makanannya. Maka jika makanannya berasal dari sesuatu yang haram, maka gerakan-gerakan yang dihasilkannya akan tumbuh dari sesuatu yang tidak baik dan akan menjadi tidak baik pula hasilnya. Bahkan sahabat Abdullah bin Umar

h

 berkata: “Seandainya kalian melaksanakan sholat sehingga kalian bagaikan tiang yang kokoh (karena lamanya melaksanakan sholat dan berbagai macam ibadah) dan berpuasa sampai kalian menjadi layaknya busur panah (dari saking sedikitnya makan), Allah tidak akan menerima kedua amal ibadah tersebut kecuali dengan melakukan wara’ dari sesuatu yang diharamkan.”

Coba kita renungkan dari 2 hadits di atas tadi. Jika seseorang membeli baju dengan harga 10 dirham yang dari 10 dirham tersebut terdapat 1 dirham saja yang haram, maka sholatnya tidak akan diterima selama pakaian itu melekat pada badannya. Kalau ini terkait dengan sesuatu yang melekat dengan badannya, bagaimana kiranya dengan sesuatu yang masuk ke dalam badannya yang akan menjadi darah dan dagingnya, bagaimana cara memisahkannya dan bagaimana akan diterima ibadahnya? 

 

C.   Macam-Macam Makanan Yang Diharamkan

Ketahuilah bahwasanya makanan-makanan yang diharamkan terbagi menjadi dua:

1.      Makanan yang memang jenis bendanya termasuk yang diharamkan, seperti bangkai (binatang yang mati tanpa sembelihan syar’i), darah, bir, anjing, babi dan lain sebagainya. Maka makanan dari jenis-jenis semacam ini tidak dihalalkan dari segi apapun kecuali ketika dhorurot, yaitu ketika tidak ada makanan lagi maka diperbolehkan memakannya hanya sekadar untuk mengganjal perutnya dan tidak sampai mati karena kelaparan.

2.      Makanan itu bendanya termasuk yang halal untuk dikonsumsi seperti nasi, roti, air dan lain sebagainya, akan tetapi makanan tersebut bukan milik kita, akan tetapi milik orang lain. Maka yang demikian itu haram untuk dikonsumsi sehingga menjadi boleh dikonsumsi dengan cara-cara yang diperbolehkan oleh agama. Seperti kita mendapatkannya dengan cara jual beli, hibah (pemberian), warisan dan lain sebagaianya.

Adapun makanan yang syubhat ada beberapa derajat, yaitu sebagai berikut:

1.      Yang diyakini keharamannya dan diragukan akan kehalalannya, maka yang semacam ini hukumnya adalah haram mengkonsumsinya.

2.      Yang diyakini halalnya, hanya diragukan akan keharamannya. Maka tidak mengkonsumsinya termasuk wara’.

3.      Yang tidak jelas hukumnya, bisa jadi halal dan bisa jadi haram. Maka yang demikian itulah lebih baik kita meninggalkannya dengan dasar sabda Nabi

n

:

عن الحسن بن علي رضي الله عنهما قال : حَفِظتُ مِن رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم : دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ. (رواه النسائي)

Tinggalkan sesuatu yang meragukan dan berpindahlah kepada sesuatu yang kamu yakini (meragukan). (H.R. An-Nasa’i)

Sedangkan tingkat keimanan dan ketakwaan yang paling tinggi adalah yang meninggalkan sesuatu yang halal (perkara yang diperbolehkan) karena takut terjerumus kedalam sesuatu yang diharamkan atau sesuatu yang syubhat, sebagaimana Nabi

n

 bersabda:

عن عطية بن عروة السعدي الصحابي رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَا يَبلُغُ العَبدُ أَن يَكُونَ مِن المُتَّقِين حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأسٌ. (رواه الترمذي)

Seorang hamba tidak akan terhitung sebagai seorang yang bertakwa sehingga dia meninggalkan segala sesuatu yang boleh dilakukan karena takut terjerumus kedalam sesuau yang tidak diperbolehkan. (H.R. Turmudzi)

Para sahabat Nabi

n

 berkata: “Kami telah meninggalkan 70 pintu daripada perkara-perkara yang dihalalkan hanya karena takut terjerumus ke dalam sesuatu yang diharamkan, walaupun hanya dalam satu jenis keharaman.”

Wara’ yang semacam ini sangat sulit kita dapatkan dan telah hilang semenjak lama. Maka paling tidak kita harus mengetahui apa saja yang diaramkan oleh Allah

l

 sehingga kta dapat menghindarinya dan apa saja yang dianggap  sebuah keburukan sehingga kita dapat menjauhkan diri kita darinya dan berusaha mengetahui sesuatu yang diwajibkan, sehingga kita dapat melaksanakannya dan tidak meninggalkannya.

 

D.  Perkara-Perkara Yang Menjadi Sebab Utama Seseorang Terjerumus Ke Dalam Syubhat

Ketahuilah bahwasanya jika seseorang memperkuat ilmu agamanya, maka dia akan menjadi seorang yang beriman dan bertakwa. Sehingga jelas dia akan meninggalkan sesuatu yang diharamkan dan memilah-milih sesuatu yang diperbolehkan. Akan tetapi sebaliknya, tatkala seseorang lemah ilmu agamanya, lemah ketakwaan dan keimanannya, maka ditakutkan seseorang itu akan jatuh ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang syubhat ataupun yang haram. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menjadi sebab utama mengapa banyak orang terjerumus kedalam pekerjaan-pekerjaan yang syubhat ataupun haram, yaitu sebagai berikut:

1.      Tidak mencari tahu dahulu atau memeriksa sesuatu yang datang dari orang lain.

Karena seharusnya seseorang yang akan bermuamalah dengan orang lain harus tahu ciri-ciri orang yang kita dekati, sebagaimana yan dikatakan oleh para ulama: “Manusia yang kita temui itu terbagi menjadi 3:

1)   Seseorang yang kita ketahui dengan kebaikan dan kesalehan, maka boleh kita memakan makanannya dan boleh kita bermuamalah dengannya tanpa kita bertanya terlebih dahulu asal muasal makanan, minuman dan harta bendanya tersebut.

2)   Seseorang yang kita tidak ketahui dengan kebaikan maupun keburukan. Maka hendaknya jika kita ingin bermuamalah dengannya, memakan makanan dan minumannya serta muamalah lainnya, maka termasuk daripada sifat waro’ adalah hendaknya bertanya dahulu siapa dia, apa pekerjaanya, dari mana asalnya sehingga kita luput dari memakan makanan yang diharomkan atau yang subhat. Kecuali jika dengan bertanya yang terkait dengannya akan melukai hatinya, maka lebih baik diam dan tidak menanyakannya. Akan tetapi temasuk dari sifat waro’ adalah untuk semaksimal mungkin untuk tidak bermuamalah dan menkonsumsi makanan dan minumannya.

3)   Seseorang yang kita kenal dengan kedzaliman dan muamalah yang tidak dibenarkan. Misalnya dia bertransaksi dengan transaksi riba’, menipu atau melakukan penipuan dalam jual belinya. Begitupula jika dia selalu melakukan kedzaliman didalam melakukan transaksinya, maka lebih baik kita tidak bermuamalah dengannya dan tidak memakan makanan serta minumannya.

2.      Karena tidak berusaha menghindari transaksi yang fasid.

Hendaknya seseorang yang akan bermuamalah, bertransaksi dengan orang lain, bertamu, bergaul dan sebagainya, hendaknya dia tahu hukum transaksi jual beli maupun yang lainnya, yang boleh dan yang tidak boleh, dan yang dibenci ataupun yang dianjurkan. Dengan demikian dia tidak akan terjerumus kedalam sesuatu yang diharomkan dan harta benda yang didapatkan menjadi harta benda yang barokah dan menguntungkan baginya baik di dunia maupun di akhirat .

3.      Terlalu melampiaskan hawa nafsu di dalam kelezatan dan bermewah-mewahan. Dengan begitu seseorang akan sulit melakukan waro’ ketika mendapatkan sesuatu yang halal saja dirasa sulit, karena kebiasaan dia yang selalu melampiaskan dan mengikuti ajakan hawa nafsunya. Padahal sesungguhnya jika maksud dari makanan adalah untuk menyambung hidup, dan pakaian untuk menutup aurot dan menjaga  badan dari hawa dingin dan panas, maka sebenarnya makanan yang sedikit dan apa adanya itu sudah cukup. Begitu pula pakaian yang seadanya sudah cukup untuk menunjang tujuan dari makanan dan pakaian tersebut.

 

E.  Perkataan Ulama Terkait Dengan Sifat Waro’

Untuk memantapkan hati dalam mendapat kan sifat waro’ dalam diri, penting kiranya untuk kita mendengarkan mereka-mereka yang sudah mengalami dan sangat mengetahui dengan perihal sifat waro’, yaitu sebagai berikut :

1.      Berkata Imam Hasan Al-Bashri

a

: “Sebaik-baik ilmu adalah sifat waro’ dan sifat tawakkul.”

Dan berkata pula beliau, “Satu biji atom yang tumbuh karena sifat waro’ lebih baik daripada seribu mitsqol dari pada puasa dan sholat.”

2.      Berkata Sufya Ats-Tsauri

a

: “Hendaknya engkau mempunyai sifat waro’, maka pasti Allah akan meringankan hisabmu. Dan tinggalkan sesuatu yang meragukan dan berpindahlah kepada sesuatu yang tidak meragukan dan meyakinkan. Dan lawalah keraguan dengan keyakinan, maka pasti kamu akan selamat karenanya.”

3.      Berkata Imam Syafi’i

a

: “Hiasan ilmu adalah sifat waro’ dan sifat hilm (sifat sabar).”

4.      Berkata Ishak bin Kholaf

a

: “Waro’ ketika berbicara itu lebih berat daripada bersedekah emas dan perak.”

5.      Berkata sahabat Abu Hurairah

a

: “Teman duduknya Allah kelak di hari kiamat adalah orang-orang yang waro’ dan orang-orang yang zuhud.”

6.      Berkata sebagian sahabat: “Kita meninggalkan 70 pintu perkara-perkara yang dibolehkan hanya karena takut terjerumus kedalam 1 pintu perbuatan yang diharomkan”.

7.      Berkata Ibn Abi Tsabit

a

: “Janganlah kalian merasa heran dengan banyaknya sholat seseorang maupun puasanya, akan tetapi lihatlah bagaimana dia dalam kewaro’annya. Jika dia adalah seseorang yang waro’ terkait dengan rizki Allah

l

, maka sesungguhnya dia adalah seorang hamba Allah yang sebenarnya.”

8.      Berkata Imam Thowus

a

: “Perumpamaan keislaman seseorang bagaikan sebuah pohon. Akarnya adalah kalimat syahadat, batang pohonnya adalah sholat, daun-daunnya adalah akhlak yang baik, sedangkan buahnya adalah waro’. Maka tidak ada kebaikan dari suatu pepohonan jika tidak ada buahnya, sebagaimana tidak ada kebaikan dalam diri manusia jika tidak ada kewaro’annya.”

9.      Berkata Wahib bin Warid: “Seandainya engkau melaksanakan sholat sehingga engkau bagaikan sebuah tiang, tidak akan bermanfaat sholat tersebut sehingga engkau benar-benar mengetahui apa yang masuk ke dalam perutmu, bersumber dari sesuatu yang halal atau bersumber dari sesuatu yang harom.”

10.  Berkata sahabat Abu Darda

a

: “Kesempurnaan taqwa seseorang adalah jika dia meninggalkan sesuatu yang halal karena takut terjerumus kedalam sesuatu yang harom”.

11.  Berkata Imam Hasan: “Masih saja ketaqwaan itu ada pada diri seseorang sehingga dia meninggalkan banyak hal yang dihalalkan hanya karena takut terjerumus kedalam sesuatu yang diharomkan”.

12.  Berkata Abu Sulaiman Ad-Daroni: “Sifat waro’ adalah awal dari sifat zuhud, sebagaimana sifat qonaah adalah awal dari sifat ridho”.

 

F.   Kisah Para Salafunassoleh Didalam Sifat Waro’

Dengan kita mendengarkan kisah-kisah salafunassolih dalam sifat waro’, maka kita bisa mejadikan mereka menjadi tauladan kita dan kita bisa mempelajari bagaimana mereka melaksanakan dan melakukan kewaro’an, yaitu sebagai berikut:

1.   Nabi Muhammad

n

 adalah contoh utama dalam sifat waro’, sebagaimana disebutkan dalam hadist:

عن أبي هريرة رضي الله عنه: أَنَّ الحَسَن بِن عَلِيّ رضي الله عنهما أَخَذَ تَمرَةً مِن تَمرِ الصَّدَقَة، فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم بالفَارِسِيَّةِ:
كِخ، كِخ (كَلِمَةُ زَجرٍ لِلصَّبِيِّ)، أَمَا تَعرِف أَنَّا لَا نَأكُل الصَّدَقَة. (متفق عليه)

Dari sahabat Abu Hurairah

a

 bahwasanya sayyidina Hasan ibn Ali

a

 suatu waktu mengambil sebuah kurma dari kurma-kurma zakat lalu mengunyahnya di dalam mulutnya. Maka  kemudian Nabi Muhammad

n

 mengeluarkannya dan mengatakan, “Keluarkan! Keluarkan! (Kalimat untuk memerintahkannya untuk memuntahkannya). Lalu Nabi

n

 berkata kepada sayyidina Hasan, “Tidakkah engkau tahu bahwasanya kita tidak memakan harta zakat?” (Muttafaq alaih)

عن أبى هريرة، عن النبي صلى اللَّه عليه وسلم قال: إِنِّي لَأَنقَلِبُ إِلَى أَهلِي، فَأَجِد التَّمرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي، فَأَرفَعهَا لِآكُلَهَا، ثُمَّ أَخشَى أَن تَكُونَ صَدَقَةً فَأُلقِيهَا. (متفق عليه)

Kadang-kadang aku kembali kepad keluargaku, lalu aku mendapatkan sebuah kurma yang terjatuh di atas kasurku, kemudian aku memakannya. Tapi setelah itu aku takut itu termasuk kurma dari harta sodaqoh, maka kemudian aku muntahkan kembali.” (Muttafaq alaih)

2.       Sahabat Abu Darda memiliki seekor unta yang diberi nama Demun. Jika ada seseorang yang ingin meminjamnya darinya, maka beliau selalu berkata, “Jangan engkau berikan dia muatan kecuali dengan kadar batas begini begitu (membatasi muatannya dan melarang untuk menambah daripada muatan yang telah dibatasinya), karena sesungguhnya untaku tidak mampu untuk memuat beban yang melebihi dari batasan yang telah disebutkan.” Tatkala dia akan meninggal dunia, dia berkata kepada unta tersebut, “Wahai Demun… jangan engkau adukan aku kelak dihari kiamat kepada Allah

l

, karena aku tidak pernah memberikan muatan kepadamu kecuali yang mampu engkau bawa di atas muatanmu.

3.       Suatu waktu sahabat Jabir bin Abdillah

a

 melalui sahabat Umar bin Khattab dalam keadaan membawa daging yang telah dibelinya dengan harga 1 dirham. Lalu kemudian sahabat Umar berkata kepadanya, “Apakah yang engkau bawa itu?”  Dia menjawab, “Itu adalah daging yang aku beli seharga satu dirham.” Maka sayyidina Umar berkata kepadanya, “Apakah setiap engkau menginginkan sesuatu lalu engkau beli? Jangan-jangan engkau termasuk didalam ancaman ayat ini:

أَذهَبتُم طَيِّبَـٰتِكُم فِى حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنيَا (الأحقاف: ٢٠)

Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja). (Q.S. Al-Ahqaf: 20)

4.       Sahabat Abu Bakar

a

 memiliki seorang budak yang diberikan mandat untuk berdagang dan berniaga. Suatu waktu beliau makan dari hasil dagangannya dan tiba-tiba si budak berkata, “Abu Bakar… Tahukah apa yang kamu makan ini?” Maka sayyidina Abu Bakar berkata, “Apa itu?”  Dijawab oleh si budak, “Aku mendapatkannya dengan melakukan perdukunan kepada seseorang seperti layaknya di zaman jahiliyah.” Sebenarnya aku tidak bisa mendukuni, hanya saja aku menipunya. Lalu dia memberikan aku makanan ini, “Inilah yang kau makan!” Lalu sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq memasukkan tangannya ke dalam tenggorokannya dan berusaha mengeluarkan isi makanannya sampai dimuntahkan semuanya. Tidak cukup dengan itu, dia mengambil air lalu memuntahkannya lagi sampai tidak keluar dari perutnya kecuali air yang bersih seperti ketika dia meminumnya. Maka di saat itulah sayyidina Umar bin Khattab mengatakan kepadanya, “Jangan engkau sakiti dirimu wahai Abu Bakar, karena semua yang kau makan sudah tidak ada lagi dalam perutmu.” Maka dia berkata, “Demi Allah… Seumpama tidak keluar makanan yang telah aku makan kecuali dengan merenggangkan nyawa, maka aku akan merenggangkan nyawaku demi mengeluarkannya.”

5.       Sahabat Abdullah Ibn Umar ketika mengendarai suatu kendaraan, tiba-tiba dia mendengarkan suara alat musik yang dimainkan oleh penggembala. Maka kemudian dia meletakkan kedua tangannya di kedua telingannya untuk menutupi telinganya, sehingga kendaraannya melenceng dari jalan yang sebenarnya dan dia selalu berkata kepada budaknya yang bernama Nafi’, “Apakah kamu masih mendengar suara itu?” Maka dia berkata “Iya.” Maka dia tetap melanjutkan penjalanannya sampai dia berkata lagi, “Apakah kamu masih mendengarnya?” Lalu dia berkata, “Tidak.” Barulah dia meletakkan tangannya dan mengembalikan kendaraannya ke jalan semula dan dia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah

n

 melakukannya ketika beliau mendengar alat musik yang dibunyikan oleh seseorang.”

6.       Sayyidina Umar bin Abdul Aziz -salah satu khalifah yang sangat adil- melihat dan menyaksikan penimbangan misik yang dibagikan kepada kaum muslimin. Maka dia kemudian menutupi hidungnya dengan tangannya supaya dia tidak mencium baunya. Ketika ditanyakan mengenai apa yang dilakukannya, maka dia menjawab, “Bukankah misik itu diambil kemanfaatannya dengan menciumnya? Aku takut termasuk yang mencium dan menggunakan kemanfaatan daripada harta benda yang bukan milikku.”

7.       Suatu waktu Abu Ishak As-Sihrozi berangkat ke masjid untuk melakukan aktivitas sehari-harinya, tapi tiba-tiba dia terlupa dan terjatuh 1 dinar. Kemudian dia ingat dimana 1 dinarnya jatuh, maka dia kembali ke jalan itu. Setelah dia menemukan satu dinarnya yang telah jatuh itu, maka dia meninggalkannya dan tidak menyentuhnya dan dia berkata, “Mungkin saja ini bukan dinarku yang telah jatuh, tetapi dinar orang lain yang jatuh setelahnya atau sebelumnya. Yang pasti ini bukanlah dinarku.”

8.       Sahabat Anas

a

 bercerita bahwasanya baju yang dipakai oleh sayyidina Umar terdapat empat sobekan dipundaknya, dan beberapa sobekan yang ditembel dengan kulit. Pernah suatu waktu sayyidina Umar berkhutbah di atas mimbar dengan menggunakan pakaian yang penuh dengan tambalan dan tidak kurang tambalannya dari 12 tambalan.

9.       Berkata Hammad bin Zaid: “Pernah Suatu waktu aku bersama ayahku di rumahku dan aku mengambil satu bata dari satu bangunan. Maka dia menegurku dan berkata, “Kenapa engkau ambil itu?” Maka dia katakan, “Ini hanya satu bata saja wahai ayah.” Maka dia menjawabnya, “Kalau seumpama seluruh manusia mengambil satu bata itu, akankah masih ada bangunan yang masih tetap terbangun dari tembok rumah-rumah masyarakat?”

10.    Berkata Qotadah: “Seorang yang bernama Muaikib

a

 dipasrahi untuk menjaga baitul mal di zaman khalifah Umar bin Khattab dan dia selalu menyapu baitul mal. Suatu hari ketika dia menyapu, dia mendapatkan 1 dirham. Maka dia serahkan kepada Ibn Umar, lalu aku pergi ke rumahku setelah aku memberikannya. Tiba-tiba datanglah seorang utusan kepadaku yang diutus oleh sayyidina Umar untuk memanggilku datang kepadanya. Maka kemudian aku datang kepadanya cepat-cepat, tiba-tiba aku melihat dirham yang aku dapatkan tadi dan sudah aku serahkan telah ada di tangannya. Lalu dia berkata kepadaku, “Celakalah engkau wahai Muaikim… Apakah engkau mengira sesuatu yang tidak baik pada diriku?” Lalu dia katakan, “Apakah itu wahai Amirul mukminin?” Lalu dia berkata, “Kamu ingin aku dimusuhi oleh umat Muhammad karena dirham ini?”

11.    Berkata Taut bin Wahab

a

: “Suatu waktu aku pernah masuk kepada Muhammad bin Shirin dan aku mengadu kepadanya, dan dia berkata kepadaku, “Aku melihatmu mengadu dan sambatan.” Dan aku menjawab, “Iya.”  Lalu dia berkata, “Pergilah engkau kepada Fulan, seorang tabib dan mintalah resep darinya.” Lalu dia menyanggah dan berkata, “Tidak… Pergilah kepada orang lain, karena dia lebih mahir darinya.” Lalu aku mendengar dia berkata, “Astaghfirullah… Aku telah berghibah menyebutkan kejelekannya.”

12.    Berkata Ibn Abi Dunya: “Pernah ada seorang wanita yang didatangi oleh suaminya. Disaat itulah lampu minyak telah menyala untuk menerangi keduanya. Tiba-tiba si istri mematikannya lalu berkata, “Minyak dari lampu ini adalah milik seorang mitra kerja yang aku bekerja dengannya, sehingga kita tidak halal untuk menikmatinya.”

13.    Sahabat Mu’ad bin Jabal

a

 mempunyai 2 istri. Jika dia berada didalam giliran istri yang satu, maka dia tidak mau minum minuman dari istri yang bukan berada dalam gilirannya.

14.    Suatu waktu sayyidina Umar bin Abdul Aziz datang bertamu ke rumahnya dan bertanya kepada istrinya, “Wahai Fatimah… apakah kamu punya satu dirham untuk aku belikan anggur?” Maka dia menjawab, “Tidak.”  Dia berkata lagi, “Apakah engkau mempunyai namiyah (kadar dibawah dirham)?” Lagi-lagi dia katakan, “Tidak.” Lalu dia datang kepada sayyidina Umar bin Abdul Aziz, “Wahai Umar… engkau adalah seorang amirul mukminin, tapi egkau tidak bisa mendapatkan uang hanya 1 dirham dan tidak bisa mendapatkan 1 namiyah yang kau gunakan untuk membeli anggur?” Maka dia menjawabnya, “Memakan anggur itu lebih ringan daripada melepaskan tali belenggu dari api neraka Jahannam.”

Post a Comment for "BERSIKAP WARA’’ MERUPAKAN SOLUSI MENGHINDARI DOSA DAN TERJERUMUS KE DALAM NISTA"