BERSIKAP WARA’’ MERUPAKAN SOLUSI MENGHINDARI DOSA DAN TERJERUMUS KE DALAM NISTA
BERSIKAP WARA’’ MERUPAKAN SOLUSI MENGHINDARI DOSA DAN TERJERUMUS KE DALAM NISTA
Memposisikan diri sebagai
muslim yang ahli ibadah, ahli puasa, ahli sholat, ahli do’a, seorang khotib,
seorang guru, bahkan seorang yang alim itu mudah untuk diusahakan dan
diupayakan. Akan tetapi menjadi mereka
semuanya yang mempunyai sifat wara’, sangat sulit untuk digapai dan tidak mudah didapatkan. Karena barangsiapa
yang mampu bersikap wara’ dalam segala hal, maka dia telah menduduki sebuah
kedudukan yang paling tinggi, kedudukan kemuliaan dan telah berhias dengan
sebaik-baiknya hiasan daripada sifat-sifat ketaqwaan.
Apalagi di zaman akhir
ini, dimana pikiran kaum muslimin lebih banyak orientasinya didalam materi dan
keduniaan serta pelampiasan hawa nafsu dan kelezatan. Sehingga yang demikian itu menyebabkan orang tersebut meremehkan dan
melalaikan sifat wara’ pada dirinya. Oleh karena, itu mempunyai sifat wara’ dan
menerapkannya dalam kesehariannya merupakan sebuah solusi untuk menghindari
terjerumusnya seseorang ke dalam dosa dan selamat dari nista.
A.
Definisi Wara’
Sedangkan definisi wara’ itu sendiri banyak, hal itu sebagaimana
tertera berikut ini:
1.
Berkata Ibrahim bin Adham: “Sifat wara’ adalah meninggalkan semua hal
yang syubhat (diragukan kehalalan atau keharomannya, kewajibannya atau tidak
wajibnya).”
2.
Berkata Yahya bin Mu’adz: “Wara’ itu mepunyai 2 segi.
Satu segi secara dzohir, yaitu tidak melakukan suatu tindakan kecuali
karena Allah. Dan satu sisi secara batin, yaitu tidak masuk ke dalam hati kecuali sesuatu yang karena Allah.”
3.
Berkata Yunus bin Ubaid: “Wara’ adalah berusaha keluar
dari segala yang sifatnya syubhat dan selalu menuntut diri untuk mengevaluasi
dan mengintropeksi diri suatu waktu dan suatu saat. “
4.
Berkata Ibn Qoyyim v
5.
Berkata sebagian ulama: “Sifat wara’ adalah menghindari
segala hal yang sifatnya syubhat dan selalu mengawasi segala macam lintasan.”
6.
Berkata lagi sebagian ulama, “Sifat wara’ merupakan
sebuah ibarat dari terburu-buru melakukan sesuatu yang bersifatkan materi
dengan mempertimbangkan kaitannya dengan akhirat.”
Kesimpulannya bahwasanya wara’ dalam artian seperti yang
disebutkan oleh para ulama tadi adalah bukan hanya mencegah diri dari perbuatan
yang haram dan melepaskan diri darinya, akan tetapi mencegah diri dari hal yang
boleh dan menahan diri dari sebagian hal yang halal karena takut sampai
terjerumus pada sesuatu yang harom. Sehingga jika ragu terkait hukumnya apakah
itu harom ataukah halal, boleh atau tidak, maka ditinggalkan. Begitupula
apabila ragu apakah sesuatu ini wajib dilakukan atau tidak, maka dia
melakukannya. Sedangkan dasar utama perintah untuk bersifat wara’ adalah hadits
Nabi n
عن أبي عبد الله النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال : سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول
: إِنَّ الحَلَالَ
بَيِّنٌ وَالحَرَامَ بَيِّنٌ ، وَبَينَهُمَا أُمُورٌ مُشتَبِهَات لَا يَعلَمُهُنَّ
كَثِيرٌ مِن النَّاسِ ، فَمَن اتَّقَى الشُّبهَات فَقَد استَبرَأَ لِدِينِهِ
وَعِرضِهِ ، وَمَن وَقَعَ فِي الشُّبهَات فَقَد وَقَعَ فِي الحَرَامِ ،
كَالرَّاعِي يَرعَى حَولَ الحِمَى يُوشَكُ أَن يَرتَعَ فِيهِ ، أَلَا وَأَنَّ
لِكُلِّ مَلِكِ حِمَى ، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى الله مَحَارِمُهُ. (متفق عليه)
Sesuatu yang halal itu sudah jelas, begitupula yang
haram. Dan antara keduanya perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui
oleh banyak orang. Maka barangsiapa yang menghindari sesuatu yang syubhat, berarti dia telah mensucikan
agamanya dan mensucikan harga dirinya. Dan barangsiapa yang masuk ke dalam
perkara yang syubhat, maka dia akan masuk kedalam pekerjaan yang haram.
Sebagaimana seorang penggembala yang mendekati area terlarang, maka ditakutkan akan terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwasanya setiap
penguasa mempunyai area-area yang terlarang, dan ketahuilah bahwasanya area
yang terlarang bagi Allah adalah mendekati perkara-perkara yang diharamkan.
(Muttafaq alaih)
عن حذيفة رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فَضلُ العِلمِ أَحَبُّ
إِلَيَّ مِن فَضلِ العِبَادَة، وَخَيرُ دِينِكُم الوَرَعُ. (رواه الحاكم)
Keutamaan ilmu lebih aku cintai daripada keutamaan
ibadah. Dan ketahuilah bahwasanya sebaik-baik agama
kalian adalah sifat wara’. (H.R.
Hakim)
عن الحسن بن علي رضي الله عنهما قال :
حَفِظتُ مِن رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم : دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا
يَرِيبُكَ. (رواه النسائي)
Dari sahabat Sayyidina Hasan bin Ali h n
Sifat wara’ meliputi banyak hal, baik wara’ dalam
pandangan, wara’ dalam pendengaran, wara’ dalam ucapan, wara’ dalam hal yang
masuk ke dalam perut, wara’ yan terkait dengan kemaluan, wara’ dalam
jual beli, dan lain sebgaianya. Kesimpulannya, hendaknya seorang muslim wajib
bersifat wara’ ketika berhadapan dengan sesuatu yang diharamkan ataupun sesuatu
yang syubhat. Dan sesuatu yang syubhat itulah yang menentukan posisi seorang muslim tersebut dari keimanan dan ketakwaan.
B.
Wara’ Dalam Hal Makanan Dan Pakaian
Makanan dan pakaian merupakan sesuatu yang pokok dan
baometer ibadah kita diterima atau tidak, dan kita termasuk yang
berhak mendapat surga atau neraka. Sehingga jika direnungkan, kebanyakan
sesuatu yang wajib diwara’kan itu terkait dengan makanan, minuman serta pakaian, karena
berdasarkan hadits berikut:
عن كعب بن عجرة رضي الله عنه قال:
قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ لَحْمٍ نبت من حرام فالنار أولى
بِهِ. (رواه الترمذي)
Setiap daging yang tumbuh dari makanan atau minuman yang
haram, maka api neraka lebih berhak untuk mendapatkannya. (H.R. Turmudzi)
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال صلّى الله عليه وسلم: مَن اشتَرَى ثَوباً
بِعَشرَةِ دَرَاهِم وَفِي ثَمَنِهِ دِرهَم حَرَام لَم يَقبَل الله صَلَاتَهُ مَا
دَامَ عَلَيهِ مِنهُ شَيءٌ. (رواه أحمد)
Barangsiapa yang membeli baju dengan harga 10 dirham dan
dalam harga tersebut terdapat 1 dirham yang haram, maka Allah tidak akan
menerima sholatnya selama baju itu melekat di badannya. (H.R. Ahmad)
Maka setiap orang yang beribadah yang makanannya haram,
begitu pula pakaiannya berasal dari perkara yang diharamkan, maka sedikit
sekali akan diterima ibadahnya. Bahkan setiap orang yang makanannya atau
pakaiannya berasal dari sesuatu yang diharamkan, maka sulit untuk mendapat
taufik dari Allah l
Kesimpulannya maka setiap orang yang makanannya haram,
maka amal ibadahnya ditolak oleh Allah l l h
Coba kita renungkan dari 2 hadits di atas tadi. Jika seseorang membeli baju
dengan harga 10 dirham yang dari 10
dirham tersebut terdapat 1 dirham saja yang haram,
maka sholatnya tidak akan diterima selama pakaian itu melekat pada badannya.
Kalau ini terkait dengan sesuatu yang melekat dengan badannya, bagaimana
kiranya dengan sesuatu yang masuk ke dalam badannya yang akan menjadi darah dan
dagingnya, bagaimana cara memisahkannya dan bagaimana akan diterima
ibadahnya?
C.
Macam-Macam Makanan Yang Diharamkan
Ketahuilah bahwasanya makanan-makanan yang diharamkan
terbagi menjadi dua:
1.
Makanan yang memang jenis bendanya termasuk
yang diharamkan, seperti bangkai (binatang yang mati tanpa sembelihan
syar’i), darah, bir, anjing, babi dan lain sebagainya. Maka makanan dari
jenis-jenis semacam ini tidak dihalalkan dari segi apapun kecuali ketika
dhorurot, yaitu ketika tidak ada makanan lagi maka diperbolehkan memakannya
hanya sekadar untuk mengganjal perutnya dan tidak sampai mati karena kelaparan.
2.
Makanan itu bendanya termasuk yang halal untuk dikonsumsi seperti nasi, roti, air dan lain sebagainya, akan tetapi makanan tersebut bukan milik kita, akan
tetapi milik orang lain. Maka yang demikian itu haram untuk dikonsumsi sehingga
menjadi boleh dikonsumsi dengan cara-cara yang diperbolehkan oleh agama. Seperti kita mendapatkannya dengan cara jual beli, hibah
(pemberian), warisan dan lain sebagaianya.
Adapun makanan yang syubhat ada beberapa derajat, yaitu sebagai berikut:
1.
Yang diyakini keharamannya dan diragukan akan kehalalannya, maka yang semacam ini hukumnya adalah haram mengkonsumsinya.
2.
Yang diyakini halalnya, hanya diragukan akan
keharamannya. Maka tidak mengkonsumsinya termasuk
wara’.
3.
Yang tidak jelas hukumnya, bisa jadi halal dan bisa jadi
haram. Maka yang demikian itulah
lebih baik kita meninggalkannya dengan dasar sabda Nabi n
عن الحسن بن علي رضي الله عنهما قال :
حَفِظتُ مِن رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم : دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا
يَرِيبُكَ. (رواه النسائي)
Tinggalkan sesuatu yang meragukan dan berpindahlah kepada sesuatu yang kamu yakini (meragukan). (H.R. An-Nasa’i)
Sedangkan tingkat keimanan
dan ketakwaan yang paling tinggi adalah yang meninggalkan sesuatu
yang halal (perkara yang diperbolehkan) karena takut terjerumus kedalam sesuatu yang diharamkan atau sesuatu yang syubhat, sebagaimana Nabi n
عن
عطية بن عروة السعدي الصحابي رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
لَا يَبلُغُ العَبدُ أَن يَكُونَ مِن المُتَّقِين حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأسَ
بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأسٌ. (رواه الترمذي)
Seorang hamba tidak akan
terhitung sebagai seorang yang bertakwa sehingga dia meninggalkan segala
sesuatu yang boleh dilakukan karena takut terjerumus kedalam sesuau yang tidak
diperbolehkan. (H.R.
Turmudzi)
Para sahabat Nabi n
Wara’ yang semacam ini
sangat sulit kita dapatkan dan telah hilang semenjak lama.
Maka paling tidak kita harus mengetahui apa saja yang diaramkan oleh Allah l
D.
Perkara-Perkara Yang Menjadi Sebab Utama Seseorang Terjerumus Ke Dalam
Syubhat
Ketahuilah bahwasanya jika seseorang memperkuat ilmu
agamanya, maka dia akan menjadi seorang yang beriman dan bertakwa. Sehingga
jelas dia akan meninggalkan sesuatu yang diharamkan dan memilah-milih sesuatu yang diperbolehkan. Akan tetapi sebaliknya,
tatkala seseorang lemah ilmu agamanya, lemah ketakwaan dan keimanannya, maka
ditakutkan seseorang itu akan jatuh ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang syubhat
ataupun yang haram. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang menjadi sebab utama
mengapa banyak orang terjerumus kedalam pekerjaan-pekerjaan yang syubhat
ataupun haram, yaitu sebagai berikut:
1.
Tidak mencari tahu dahulu atau memeriksa sesuatu yang
datang dari orang lain.
Karena seharusnya seseorang yang akan bermuamalah dengan
orang lain harus tahu ciri-ciri orang yang kita dekati, sebagaimana yan
dikatakan oleh para ulama: “Manusia yang kita temui itu terbagi menjadi 3:
1)
Seseorang yang kita ketahui dengan kebaikan dan
kesalehan, maka boleh kita memakan makanannya dan boleh kita bermuamalah
dengannya tanpa kita bertanya terlebih dahulu asal muasal makanan, minuman dan
harta bendanya tersebut.
2)
Seseorang yang kita tidak ketahui dengan kebaikan maupun
keburukan. Maka hendaknya jika kita ingin bermuamalah dengannya, memakan
makanan dan minumannya serta muamalah lainnya, maka termasuk daripada sifat
waro’ adalah hendaknya bertanya dahulu siapa dia, apa pekerjaanya, dari mana asalnya
sehingga kita luput dari memakan makanan yang diharomkan atau yang subhat.
Kecuali jika dengan bertanya yang terkait dengannya akan melukai hatinya, maka
lebih baik diam dan tidak menanyakannya. Akan tetapi temasuk dari sifat waro’ adalah untuk semaksimal mungkin
untuk tidak bermuamalah dan menkonsumsi makanan dan minumannya.
3)
Seseorang yang kita kenal dengan kedzaliman dan muamalah
yang tidak dibenarkan. Misalnya dia bertransaksi dengan transaksi riba’, menipu
atau melakukan penipuan dalam jual belinya. Begitupula jika dia selalu
melakukan kedzaliman didalam melakukan
transaksinya, maka lebih baik kita tidak bermuamalah dengannya dan tidak
memakan makanan serta minumannya.
2.
Karena tidak berusaha menghindari transaksi yang fasid.
Hendaknya seseorang yang
akan bermuamalah, bertransaksi dengan orang lain, bertamu, bergaul dan
sebagainya, hendaknya dia tahu hukum transaksi jual beli maupun yang lainnya,
yang boleh dan yang tidak boleh, dan yang dibenci ataupun yang dianjurkan.
Dengan demikian dia tidak akan terjerumus kedalam sesuatu yang diharomkan dan
harta benda yang didapatkan menjadi harta benda yang barokah dan menguntungkan
baginya baik di dunia maupun di akhirat .
3.
Terlalu melampiaskan hawa nafsu di dalam kelezatan dan
bermewah-mewahan. Dengan begitu seseorang akan sulit melakukan waro’ ketika
mendapatkan sesuatu yang halal saja dirasa sulit, karena kebiasaan dia yang
selalu melampiaskan dan mengikuti ajakan hawa nafsunya. Padahal sesungguhnya
jika maksud dari makanan adalah untuk menyambung hidup, dan pakaian untuk
menutup aurot dan menjaga badan dari
hawa dingin dan panas, maka sebenarnya makanan yang sedikit dan apa adanya itu
sudah cukup. Begitu pula pakaian yang
seadanya sudah cukup untuk menunjang tujuan dari makanan dan pakaian tersebut.
E. Perkataan Ulama Terkait Dengan Sifat Waro’
Untuk memantapkan hati
dalam mendapat kan sifat waro’ dalam diri, penting kiranya untuk kita
mendengarkan mereka-mereka yang sudah mengalami dan sangat mengetahui dengan perihal sifat waro’, yaitu sebagai berikut :
1.
Berkata Imam Hasan Al-Bashri a
Dan berkata pula beliau, “Satu biji atom yang tumbuh
karena sifat waro’ lebih baik daripada seribu mitsqol dari pada puasa dan
sholat.”
2.
Berkata Sufya Ats-Tsauri a
3.
Berkata Imam Syafi’i a
4.
Berkata Ishak bin Kholaf a
5.
Berkata sahabat Abu Hurairah a
6.
Berkata sebagian sahabat: “Kita meninggalkan 70 pintu
perkara-perkara yang dibolehkan hanya karena takut terjerumus kedalam 1 pintu
perbuatan yang diharomkan”.
7.
Berkata Ibn Abi Tsabit a l
8.
Berkata Imam Thowus a
9.
Berkata Wahib bin Warid: “Seandainya engkau
melaksanakan sholat sehingga engkau bagaikan sebuah tiang, tidak akan bermanfaat
sholat tersebut sehingga engkau benar-benar mengetahui apa yang masuk ke dalam
perutmu, bersumber dari sesuatu yang halal atau bersumber dari sesuatu yang
harom.”
10.
Berkata sahabat Abu Darda a
11.
Berkata Imam Hasan: “Masih saja ketaqwaan itu ada pada
diri seseorang sehingga dia meninggalkan banyak hal yang dihalalkan hanya
karena takut terjerumus kedalam sesuatu yang diharomkan”.
12.
Berkata Abu Sulaiman Ad-Daroni: “Sifat waro’ adalah
awal dari sifat zuhud, sebagaimana sifat qonaah adalah awal dari sifat ridho”.
F.
Kisah Para Salafunassoleh
Didalam Sifat Waro’
Dengan kita
mendengarkan kisah-kisah salafunassolih dalam sifat waro’, maka kita bisa
mejadikan mereka menjadi tauladan kita dan kita bisa mempelajari bagaimana
mereka melaksanakan dan melakukan kewaro’an, yaitu sebagai berikut:
1.
Nabi Muhammad n
عن أبي هريرة رضي الله عنه: أَنَّ
الحَسَن بِن عَلِيّ رضي الله عنهما أَخَذَ تَمرَةً مِن تَمرِ الصَّدَقَة،
فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلّم
بالفَارِسِيَّةِ:
كِخ، كِخ
(كَلِمَةُ زَجرٍ لِلصَّبِيِّ)، أَمَا تَعرِف أَنَّا لَا نَأكُل الصَّدَقَة. (متفق
عليه)
Dari sahabat Abu Hurairah a a n n
عن أبى هريرة، عن النبي صلى اللَّه
عليه وسلم قال: إِنِّي لَأَنقَلِبُ إِلَى أَهلِي، فَأَجِد التَّمرَةَ سَاقِطَةً
عَلَى فِرَاشِي، فَأَرفَعهَا لِآكُلَهَا، ثُمَّ أَخشَى أَن تَكُونَ صَدَقَةً
فَأُلقِيهَا. (متفق عليه)
Kadang-kadang aku
kembali kepad keluargaku, lalu aku mendapatkan sebuah kurma yang terjatuh di
atas kasurku, kemudian aku memakannya. Tapi setelah itu aku takut itu termasuk
kurma dari harta sodaqoh, maka kemudian aku muntahkan kembali.” (Muttafaq
alaih)
2.
Sahabat Abu Darda memiliki seekor unta yang diberi
nama Demun. Jika ada seseorang yang ingin meminjamnya darinya, maka beliau
selalu berkata, “Jangan engkau berikan dia muatan kecuali dengan kadar batas
begini begitu (membatasi muatannya dan melarang untuk menambah daripada muatan
yang telah dibatasinya), karena sesungguhnya untaku tidak mampu untuk memuat
beban yang melebihi dari batasan yang telah disebutkan.” Tatkala dia akan
meninggal dunia, dia berkata kepada unta tersebut, “Wahai Demun… jangan engkau
adukan aku kelak dihari kiamat kepada Allah l
3.
Suatu waktu sahabat Jabir bin Abdillah a
أَذهَبتُم طَيِّبَـٰتِكُم فِى
حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنيَا (الأحقاف: ٢٠)
Kamu
telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja). (Q.S.
Al-Ahqaf: 20)
4.
Sahabat Abu Bakar a
5.
Sahabat Abdullah Ibn Umar ketika mengendarai suatu
kendaraan, tiba-tiba dia mendengarkan suara alat musik yang dimainkan oleh
penggembala. Maka kemudian dia meletakkan kedua tangannya di kedua telingannya
untuk menutupi telinganya, sehingga kendaraannya melenceng dari jalan yang
sebenarnya dan dia selalu berkata kepada budaknya yang bernama Nafi’, “Apakah
kamu masih mendengar suara itu?” Maka dia berkata “Iya.” Maka dia tetap
melanjutkan penjalanannya sampai dia berkata lagi, “Apakah kamu masih
mendengarnya?” Lalu dia berkata, “Tidak.” Barulah dia meletakkan tangannya dan
mengembalikan kendaraannya ke jalan semula dan dia berkata, “Aku pernah melihat
Rasulullah n
6.
Sayyidina Umar bin Abdul Aziz -salah satu khalifah
yang sangat adil- melihat dan menyaksikan penimbangan misik yang dibagikan kepada
kaum muslimin. Maka dia kemudian menutupi hidungnya dengan tangannya supaya dia
tidak mencium baunya. Ketika ditanyakan mengenai apa yang dilakukannya, maka
dia menjawab, “Bukankah misik itu diambil kemanfaatannya dengan menciumnya? Aku
takut termasuk yang mencium dan menggunakan kemanfaatan daripada harta benda
yang bukan milikku.”
7.
Suatu waktu Abu Ishak As-Sihrozi berangkat ke masjid
untuk melakukan aktivitas sehari-harinya, tapi tiba-tiba dia terlupa dan
terjatuh 1 dinar. Kemudian dia ingat dimana 1 dinarnya jatuh, maka dia kembali
ke jalan itu. Setelah dia menemukan satu dinarnya yang telah jatuh itu, maka
dia meninggalkannya dan tidak menyentuhnya dan dia berkata, “Mungkin saja ini
bukan dinarku yang telah jatuh, tetapi dinar orang lain yang jatuh setelahnya
atau sebelumnya. Yang pasti ini bukanlah dinarku.”
8.
Sahabat Anas a
9.
Berkata Hammad bin Zaid: “Pernah Suatu waktu aku
bersama ayahku di rumahku dan aku mengambil satu bata dari satu bangunan. Maka
dia menegurku dan berkata, “Kenapa engkau ambil itu?” Maka dia katakan, “Ini hanya
satu bata saja wahai ayah.” Maka dia menjawabnya, “Kalau seumpama seluruh
manusia mengambil satu bata itu, akankah masih ada bangunan yang masih tetap
terbangun dari tembok rumah-rumah masyarakat?”
10.
Berkata Qotadah: “Seorang yang bernama Muaikib a
11.
Berkata Taut bin Wahab a
12.
Berkata Ibn Abi Dunya: “Pernah ada seorang wanita yang
didatangi oleh suaminya. Disaat itulah lampu minyak telah menyala untuk
menerangi keduanya. Tiba-tiba si istri mematikannya lalu berkata, “Minyak dari
lampu ini adalah milik seorang mitra kerja yang aku bekerja dengannya, sehingga
kita tidak halal untuk menikmatinya.”
13.
Sahabat Mu’ad bin Jabal a
14.
Suatu waktu sayyidina Umar bin Abdul Aziz datang
bertamu ke rumahnya dan bertanya kepada istrinya, “Wahai Fatimah… apakah kamu
punya satu dirham untuk aku belikan anggur?” Maka dia menjawab, “Tidak.” Dia berkata lagi, “Apakah engkau mempunyai
namiyah (kadar dibawah dirham)?” Lagi-lagi dia katakan, “Tidak.” Lalu dia
datang kepada sayyidina Umar bin Abdul Aziz, “Wahai Umar… engkau adalah seorang
amirul mukminin, tapi egkau tidak bisa mendapatkan uang hanya 1 dirham dan
tidak bisa mendapatkan 1 namiyah yang kau gunakan untuk membeli anggur?”
Maka dia menjawabnya, “Memakan anggur itu lebih ringan daripada melepaskan tali
belenggu dari api neraka Jahannam.”
Post a Comment for "BERSIKAP WARA’’ MERUPAKAN SOLUSI MENGHINDARI DOSA DAN TERJERUMUS KE DALAM NISTA"